Jumat, 23 Juli 2010

Rebelina - Rebelito


Di sebuah siang dengan panas yang membakar ubun-ubun, di balik sebuah jendela kaca angkutan umum, seorang gadis mengamati jajaran orang bersama dengan hewan piaraannya. Hewan piaraan yang kelaparan dan membutuhkan makan. Gadis itu mengernyit, menggelengkan kepalanya, dan menggerutu pelan. Awal dari akhir. Revolusi makin dekat. Gadis itu tersenyum simpul, senyum simpul yang teramat bahagia. Matanya kembali menatap barisan orang yang rela berpanas-panas untuk mengantri memberikan makanan hewan piaraan mereka. Masing-masing orang menggandeng piaraan mereka. Amoeba. Amoeba bertenaga mesin. Amoeba pemakan bensin dan solar. Amoeba penghasil karbon dioksida.

Kadang memang tak ada yang bisa dilakukan rakyat jika penguasanya telah mengetokkan palu untuk menetapkan kebijakan. Saya rasa tidak hanya kadang, tapi sering. Sering sekali rakyat hanya bisa manut apa yang diputuskan penguasa. BBM naik, ya manut saja. Paling hanya bisa menggeleng dan menghembuskan nafas kesedihan dan ketidakmampuan berteriak. Atau ada juga segolongan rakyat yang meskipun tahu tak bisa melakukan ataupun merubah apa-apa tapi tetap memaksa diri berteriak, berdemo, memprotes, melakukan aksi. Setidaknya, biarpun tak bisa melawan tapi bukan berarti menyerah, karena mati dalam kepasrahan yang tak melakukan usaha apapun adalah matinya seorang pengecut. Lalu muncullah segolongan manusia, rakyat yang tertindas, kumpulan orang-orang yang tak mampu dan selalu merasa dirugikan, berbaris, berkerumun, berteriak, berorasi. Di jalan-jalan, di alun-alun, di kantor pemerintahan. Bahkan ada juga manusia yang gaguk dalam berkata, tak mampu berbicara dengan baik, tangan yang berkeringat, dan jantung yang berdebaran ketika maju di depan umum. Tapi dalam pikirannya semuanya berontak, tak mau diam, maka yang bisa dilakukan adalah menulis dalam bahasanya sendiri. Menulis untuk meneriakkan apa yang ingin diungkapkan mulutnya.

Kenaikan BBM untuk yang kesekian kalinya membuat jalanan jadi penuh lagi oleh kerumunan manusia berteriak dan berorasi, membuat pom bensin menjadi ramai tak peduli jam berapapun itu, membuat dagangan makin mahal, membuat tarif angkot makin melangit, dan tentu saja membuat banyak orang yang makin kelaparan, kekurangan gizi, biaya pengobatan mahal, orang-orang sakit tak mampu berobat, dan lagi-lagi angka kematian bertambah. Batang statistik kematian makin tinggi dan tinggi.

Lalu kenapa gadis itu tersenyum? Menggerutu tentang revolusi. Dan inilah sedikit monolog seorang gadis yang tersenyum bahagia ketika banyak orang menangis. Gadis yang malah mengucapkan terima kasih di saat orang-orang mengutuk penguasa karena menaikkan harga BBM. Dan inilah salah satu gadis yang disebut oleh Green Day sebagai She’s a Rebel...

ƒƒƒƒƒ

Sebuah panggung dipersiapkan. Altar hitam dengan cahaya dua batang lilin menyala tertiup angin, menari-nari, menerangi wajah sendu dengan mata tajam dan alis yang melengkung indah tanpa sengaja dibentuk. Lalu gadis itu memulai pengakuannya.

Nama saya Rebelina. Sewaktu SD saya sangat benci dengan nama saya. Aneh, dan sering ditertawakan teman-teman saya. Sering kali dipelesetkan menjadi Gembelina. Lalu ketika SMA saya mulai menyukai nama saya. Itu berawal ketika saya mengerjakan tugas bahasa Inggris. Saya membuka kamus dan menemukan sebuah kata yang terkandung dalam nama saya. Rebel. Lalu saya diam. Mengernyit, kenapa nama saya punya arti seperti itu. Saya kan bukan pemberontak. Saya anak yang baik, patuh pada orang tua, baik hati, tidak sombong, selalu menolong orang, meskipun saya kadang-kadang malas sekolah, suka tidur, suka ngupil, kalo beol lama, dan tidak mudah percaya sama orang.
Ketika saya banyak belajar, itu membuat saya benar-benar mengagumi nama saya. Rebelina. Bagaimana proses saya belajar, kamu tak perlu tahu lah tentang semua itu. Kenapa saya tersenyum ketika BBM naik. Seperti yang sudah pernah saya ungkapkan. Ini semua adalah awal dari akhir. Akhir dari kehancuran kapitalisme. Awal dari runtuhnya kerajaan kapitalis terbesar sepanjang masa, awal dari bergulirnya penguasa dunia. Kenaikan BBM makin mempercepat revolusi, itu kata teman saya. Saya tak percaya. Lalu diam-diam saya mulai berpikir. Dulu ketika renaisans mulai bangkit, diawali dengan keadaan yang memang sangat kacau, bergulirnya kebudayaan, pola pikir, cara hidup membuat renaisans besar sedikit demi sedikit. Ketika kapitalis hampir runtuh tergantikan oleh komunis, ditandai dengan banyaknya rakyat yang juga mati kelaparan menderita. Ketika komunis hancur berkeping-keping bersamaan dengan tenggelamnya rusia, pergolakan yang terjadi juga semakin hebat. Ketika jepang menguatkan akarnya untuk menjadi seperti sekarang itupun berawal dari pukulan hebat hancurnya Hiroshima dan Nagasaki. Ketika Negara Islam pimpinan Muhammad bangkit itupun juga ditandai dan diawali dengan diboikotnya kaum muslim di mekkah oleh kaum Qurays, kelaparan meraja lela, hingga akhirnya revolusi terjadi. BLAAR!!!

Bukankah untuk membakar sesuatu kita membutuhkan api? Dan untuk membakar suatu peradaban, selalu diawali dengan percikan api-api kecil yang ditimbulkannya sendiri hingga akhirnya membesar, lalu membakar peradaban itu sendiri sampai musnah. Ironis, tapi juga mengesankan. Ironis, tapi itulah dunia. Ironis, tapi itulah kehidupan dan perputaran. Revolusi bukanlah sesuatu yang wah. Biasa saja. Dunia diciptakan tidak dalam keadaan berhenti, tapi berputar. Maka revolusi, perputaran itu adalah hal yang semestinya, sewajarnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Jean Paul Satre, kebudayaan sejati adalah revolusi. Jadi kenapa kita harus bingung kalau suatu saat terjadi revolusi. Apa saya salah kalau saya tersenyum untuk megucapkan selamat datang pada revolusi berikutnya?! Pergantian berikutnya. Pergantian yang saya yakini akan mengarah ke arah lebih baik
.
Seperti yang saya katakan (lagi) untuk membakar suatu peradaban, selalu diawali dengan percikan api-api kecil yang ditimbulkannya sendiri hingga akhirnya membesar, lalu membakar peradaban itu sendiri sampai musnah. Api-api kecil yang sekarang sering disulut selalu ditempatkan pada daerah yang disebut Islam oleh kaum kapitalis. Islam tergencet. Islam tertindas. Perlawanan Islam di mana-mana. Di Palestina, Afganistan, Somalia, Indonesia, Thailand, Philipina, Perancis, Inggris, Australia, Mesir, Irak, sepertinya saya membutuhkan bantuan kamu untuk menyebutkan semuanya. Teramat banyak api yang sudah disulut oleh kapitalis, dan pada saatnya nanti api itu akan membesar dan membakar kapitalisme itu sendiri. Saya yakin: Islam akan menjadi api yang besar. Revolusi memang harus segera terjadi. Ya, Revolusi akan segera terjadi. Kejayaan kapitalisme akan segera hangus.

Mengerikan? Oh nggak, itu biasa saja. Mayat-mayat hancur lebur di Irak, di Bali, di Thailand, di Afghan, di Bosnia, dan di seluruh belahan bumi itu adalah tindakan kaum kapitalis. Dan itu adalah hal biasa bagi mereka.
Sekarang masalahnya teman-teman...Kapan revolusi itu akan segera terjadi? Jangan tanya saya, karena saya juga tak pernah tahu. Yang saya tahu, makin kita mempercepat revolusi ya semakin cepat revolusi terjadi. Ya memang iya kan? Revolusi dasar dari sebuah sistem kapitalisme adalah di sini (Gadis menunjuk kepalanya dengan jari telunjuknya), di otak, di pemikiran. Ya, untuk mempercepatnya kita harus merevolusi pemikiran kita, pemikiran teman-teman kita, orang-orang di sekitar kita. Siapa saja harus merevolusi cara berpikirnya. Kapitalisme menghancurkan siapa saja lewat pemikiran. Gaya hidup, media, makanan. Semuanya. Dan saya tidak mau berdiam diri seperti orang-orang yang suka manut-manut ketika pemikirannya dicekoki pemikiran hedon, brutal, kebinatangan, dan brengsek ala kapitalis. Saya tidak akan diam! Saya akan melawan! Bukankah nama saya Rebelina?! Saya tak mau nama itu sekedar nama. Saya akan melawan pemikiran keparat kapitalisme, karena saya adalah seorang Rebel!!!

Satu lilin mati karena terkena hembusan nafas gadis itu. Tangannya masih mengepal dan matanya menatap tajam ketika satu lilin lagi mulai menari-nari sendirian.

Ehm.. maaf saya terlalu bersemangat. Ada yang terlupa untuk saya katakan. Nama lengkap saya Rebelina Revolusionerita.

Gadis itu tersenyum lebar. Senyum bangga tiada tara.

Saya bukan hanya Rebel, tapi saya juga Revolusiner. Ah, saya bangga ditakdirkan untuk tumbuh dengan nama itu. Nama yang tanpa saya sadari ternyata telah merubah cara berpikir saya, dan lambat laun menunjukkan jati diri saya. Saya bangga menjadi Rebelina Revolusionerita. Saya bangga menjadi seorang Rebel, dan Revolusioner. Dan yang paling penting dari segalanya adalah... Saya bangga menjadi orang Islam. Mak, Bapak, terima kasih atas pemberian nama yang keren. Nama itu sebuah doa. Saya bahagia telah memenuhi keinginan Mak dan Bapak ketika memberikan nama itu pada saya. Mak, Bapak, saya bangga menjadi revolusioner Islam yang akan membangkitkan Islam kembali. Saya bangga menjadi bagian dari terbentuknya bangunan kejayaan Islam, kerajaan Allah kembali. Saya bangga menjadi prajurit penegak agama Sang Penguasa Semesta. Saya teramat sangat bangga menjadi revolusioner Islam. Karena REVOLUSIONER ISLAM TAK AKAN PERNAH MATI!

Sebatang lilin kembali padam. Kini panggung teater itu gelap tanpa pelita. Angin berhembus makin dingin. Lalu sebuah tembakan terdengar melesat, keras, menembus angin dan gelap, dan berhenti pada sebuah teriakan memekik seorang wanita.

SEMUANYA BERDIRI!! SIAPA SAJA YANG ADA DI SINI DITANGKAP ATAS TUDUHAN MENYEBARKAN IDE-IDE TERORIS!! SEMUANYA LETAKKAN TANGAN DI BELAKANG!!

Suara laki-laki besar berseragam polisi menggelegar. Lampu kembali dinyalakan. Sekumpulan anak SMA digiring hanya karena melihat pentas teater monolog bertema perjuangan dan ketertindasan. Lalu semua mata membelalak mengarah ke arah panggung yang sekarang terang benderang. Seorang gadis terkapar tak berdaya memegangi dadanya yang bersimbah darah. Kain putih yang membalut kepalanya menjadi kemerahan karena darah yang bersumber dari lubang yang dilewati peluru yang sekarang menancap di jantungnya. Matanya tertutup, bibirnya menyungging senyum. Gadis itu tak bernyawa lagi. Gadis itu, Rebelina Revolusionerita. Seorang Rebel dan Revolusioner sejati, tersenyum dalam kematiannya. Beristirahat melepas lelahnya, mati bahagia.

Sementara itu, di tempat lain, di belahan bumi lain, di negara lain, di daerah lain, di kota lain, di universitas lain, di sekolah lain, di masjid lain, di pasar lain, di warung lain, di desa lain, di kampung lain, di gang-gang, kloning-kloning Rebelina berhamburan. Bukan hanya Rebelina tapi juga Rebelito. Kembali meneriakkan apa yang pernah diteriakkan oleh penyeru akhir zaman. Para Rebelina dan Para Rebelito. Mengikuti ketentuan alam yang mengatakan: Revolusioner Islam Tak akan pernah Mati!! [Ragoe]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

your coment here !!