Minggu, 10 Juli 2011

BBM oo BBM ..


Minyak dan gas adalah barang tambang (ma’adin) yang merupakan hak milik umum, baik orang kaya maupun miskin. Ini ditegaskan oleh Nabi dalam sejumlah hadits, antara lain:

النَّاسُ شُرَكَآءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الكَلإِ وَالمَآءِ وَالنَّارِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ)

“Manusia sama-sama membutuhkan tiga hal: padang, air dan api.” (H.r. Ahmad dan Abu Dawud. Tokoh-tokoh perawinya terpercaya [tsiqqat])



Dalam riwayat lain juga dinyatakan hadits yang serupa, dengan redaksi yang agak berbeda:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الْمَاءِ وَالْكلإِ وَالْنَّارِ (رواه أحمد وأبو داود، ورواه ابن ماجه من حديث ابن عباس وزاد فيه: وَثَمَنُهُ حَرَامٌ)

“Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga hal: air, padang dan api.” (H.r. Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah dari Ibn ‘Abbas. Di dalamnya terdapat tambahan, “Harganya haram.”)

Karena ini merupakan hak milik umum, yang sama-sama dibutuhkan oleh semua orang, maka setiap orang, baik kaya maupun miskin, sama-sama berhak untuk menikmati barang milik umum tersebut. Keumuman lafadz “an-Nas” dan “al-Muslimun” tetap berlaku dengan konotasi umum, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan:

اَلْعُمُوْمُ يَبْقَى بِعُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ

“Lafadz umum tetap dengan konotasi keumumannya, selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususannya.”

Dalam konteks ini tidak ada satu dalil pun yang mengecualikan keumuman lafadz/dalil tersebut. Padahal, melakukan takhshish (pengkhususan) tanpa adanya mukhashish (lafadz/dalil yang mengkhususkan) jelas tidak boleh. Padahal jelas tidak ada dalil yang men-takhshish hadits-hadits di atas, baik al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun Qiyas. Dengan demikian, mengkhususkan BBM bersubsidi hanya untuk orang miskin sama dengan melakukan takhshish tanpa adanya mukhashish. Jelas tidak boleh.

Maka, pandangan yang menyatakan bahwa BBM bersubsidi merupakan hak orang miskin, dan karenanya orang kaya haram mengkonsumsinya jelas merupakan pandangan yang batil. Bahkan, kesimpulan seperti ini bukan merupakan kesimpulan hukum syara’, melainkan kesimpulan logika mantik. Kesalahannya terletak pada premis yang menyatakan, bahwa BBM bersubsidi adalah hak orang miskin. Padahal, nas syara’ menyatakan sebaliknya, dimana semua orang mempunyai hak yang sama, baik kaya maupun miskin. Akibat kesalahan presmis tersebut, maka disimpulkan, bahwa orang kaya haram mengkonsumsinya. Sebab, dianggap mengambil hak orang miskin. Ini jelas kesimpulan yang batil.

Membatasi BBM Bersubsidi Bukan Pengaturan

Alasan lain yang dikembangkan adalah, bahwa pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan bentuk pengaturan pemerintah untuk kemaslahatan publik, sebagaimana kaidah:

تَصَرُّفُ الإمَامِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Tindakan (kebijakan) imam (khalifah/kepala negara) terikat dengan kemaslahatan (rakyat).”

Tindakan (tasharruf) pemerintah dalam hal ini harus dibedakan, antara tasyri’i (legislasi) dan ijra’i (administratif). Mengubah kepemilikan yang diatur syariah, dari kepemilikan umum menjadi milik negara (nasionalisasi) atau individu (privatisasi) adalah bentuk tasyri’i, yang jelas menyimpang dari ketentuan syariah. Demikian juga membatasi BBM bersubsidi hanya untuk orang miskin adalah bentuk tasyri’i, yang juga menyimpang dari ketentuan syariah. Maka, tindakan pemerintah seperti ini merupakan pelanggaran terhadap syariah. Dengan alasan apapun, pelanggaran syariah tetaplah pelanggaran. Tidak bisa dicarikan pembenaran sebagai bentuk pengaturan.

Ini berbeda dengan tindakan (tasharruf) pemerintah dalam hal administratif, seperti peraturan lalulintas, SIM, KTP dan sebagainya, maka tindakan dalam konteks ini benar-benar merupakan bentuk pengaturan yang dibolehkan. Mengikuti dan metaatinya pun wajib, karena dalam konteks ini merupakan masalah admistratif.

Di Balik Dalih Pengaturan BBM Bersubsidi

Penjelasan di atas sudah cukup untuk menunjukkan kebatilan fatwa haramnya orang kaya mengkonsumsi BBM jenis premium. Sekali lagi, fatwa ini hanyalah stempel pemerintah dalam melegalkan kebijakan liberalisasi sektor Migas. Jika harus dikeluarkan fatwa, semestinya fatwa yang mengharamkan liberalisasi ekonomi, termasuk sektor Migas yang menjadi penyebab terjadinya kebijakan yang menyengsarakan rakyat ini. Jika harus dikeluarkan fatwa, mestinya fatwa yang mengharamkan hutang, baik kepada IMF, Bank Dunia maupun USAID, yang menjadi otak lahirnya kebijakan liberalisasi Migas ini.

Karena itu, fatwa seperti ini, selain tidak ada nilainya di dalam Islam, juga bertentangan dengan syariah. Tidak hanya itu, fatwa ini juga bisa membukan jalan orang-orang Kafir untuk menguasai sektor strategis, yaitu Migas. Sekaligus melanggengkan penjajahan mereka terhadap negeri Muslim terbesar ini. Ini jelas haram. Pertama, karena haram hukumnya memberi jalan orang Kafir untuk menguasai kaum Muslim. Allah berfirman:

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum Kafir untuk menguasai orang Mukmin.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141)

Kedua, membantu mereka untuk menguasai kaum Muslim juga haram, sebagaimana ditegaskan oleh Allah:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam (melakukan) dosa dan permusuhan.” (Q.s. al-Maidah [05]: 02)

Bagaimana Seharusnya?

Barang-barang milik umum seharusnya ini tidak boleh dialihkan, baik sebagai milik negara (nasionalisasi) maupun individu (privatisasi). Negara dalam konteks ini hanya berfungsi sebagai pengelola hak milik umum ini agar barang-barang tersebut sampai kepada pemiliknya dengan harga yang murah dan terjangkau.

Memang tidak ada larangan bagi negara untuk menetapkan harga migas mengikuti harga pasar atau harga tertentu yang rasional, tetapi seluruh kebijakan tersebut bukan untuk keuntungan pemerintah (negara) atau asing (privat), karena barang tersebut bukan milik mereka. Jika pemerintah (negara) harus menempuh kebijakan yang kedua ini, maka hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, melalui penyediaan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Termasuk jaminan terpenuhinya sandang, papan dan pangan melalui pembukaan lapangan kerja yang memadai.

Apa yang ditempuh oleh pemerintah (negara) saat ini justru merugikan rakyat. Karena, selain BBM murah dihilangkan, maka keuntungan dari kenaikan harga BBM itu juga tidak dikembalikan kepada rakyat. Sebab, subsidi kesehatan, pendidikan dan layanan yang lain justru dipangkas. Artinya, kenaikan harga, dihilangkannya BMM murah dan rakyat dipaksa mengkonsumsi BBM jenis Pertamax jelas-jelas untuk kepentingan asing. Ini jelas haram.

(Oleh: Hafidz Abdurrahman)



terkutuklah kalian para penguasa!!

ketika kami harus berdesakan dengan malaikat maut demi sewadah kecil minyak tanah untuk memasak segenggam beras yang entah akan kami dapatkan atau tidak, engkau bersorak sorai bersama gemuruh kucuran uang yang gemerincing masuk saku mu.

teruslah menari seperti itu, wahai kalian para pengkhianat!!

siram peradaban terlaknat ini dengan bahan

bakar yang akan membesarkan api revolusi!!

kami dengan senang hati akan selalu mengiringi langkah

kalian dengan meludahi telapak kaki kalian yang penuh dengan borok itu!!

that's it!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

your coment here !!