Kamu tahu bagaimana persaudaraan itu diikat? Persaudaraan itu diikat bukan tanpa perdebatan
sama sekali. Ikatan itu dibentuk dengan landasan perbedaan dalam memandang suatu hal tetapi sama dalam memandang beberapa lainnya.
Suatu hari saya pernah berdebat dengan sahabat saya tentang haramnya pacaran. Betapa sahabat saya itu dengan tegas mentoleransi bahkan membolehkan mereka yang berpacaran, sementara saya belum menemukan alasan pembolehan itu. Pernah sahabat saya itu menyebut saya radikal.
Yang lain, pernah saya hampir mendiamkan sahabat saya selama satu minggu (yang ketika itu masih empat hari) hanya karena dia mencuri indomie saya yang ketika itu merupakan amunisi saya 3 hari kedepan.
Tapi setelah itu kami selalu akur. Sahabat-sahabat saya banyak yang tetap menganggap saya radikal dan saya berpikir mereka mungkin hanya belum tau kenapa sikap saya seperti ini. Kemudian saya bisa mengartikan teman saya tidak mencuri indomie itu, melainkan hanya mengambilnya tanpa izin. Selanjutnya kami seperti biasa, menghisap rokok bersama, secangkir kopi bersama, bercengkrama kesana kemari. Dan kami selalu sadar, bahwa kami saling membutuhkan.
Itulah para sahabat. Saling berdamai, saling berseteru, kadang saling memaki, berbeda pendapat, tetapi tetap diikat oleh satu ikatan. Kadang jauh tetapi tidak benar-benar menjauh karena ada rasa merindu. Kadang ada rasa kesal tetapi kesal itu hanyalah bumbu.
Benar atau tidaknya dia, salah atau kelirunya seorang sahabat atau teman yang benar-benar kita kenal bukanlah halangan bagi saya untuk menunjukkan solidaritas atasnya.
Kamu pun mungkin demikian. Itu sangat baik. Tak peduli madzhabnya apa, tak peduli pilihannya apa, selama ia seorang muslim seorang sahabat akan selalu berada disisinya, teman yang baik pun demikian.
Ini bukan berarti menyetujui atau tidak, bukan memaklumi atau tidak, mendukung atau tidak, bukan hitam dan putih: kalau hitam lalu kita tinggalkan, kalau putih okelah kita masih akan sering bertandang ke kediamannya. Tidak seperti itu.
Ini bukan tentang kamu benar, saya salah, saya salah kamu benar. Ini tentang persahabatan, sekali lagi saya bilang persahabatan.
Kita, tak peduli dia melakukannya atau tidak, yang seharusnya kita pedulikan adalah diri kita sendiri. Sejauh mana solidaritas itu dijunjung diatas kepala.
Inilah solidaritas yang saya banggakan setelah lama hidup saya tanpa rasa itu.
Saya biasa meminjamkan uang kepada teman saya walaupun perut saya sendiri bergemerincing meminta asupan. Demikian juga sebaliknya, ketika saya bertikai sebuah konflik teman saya dengan yakin mengatakan, “ kalau ada apa2 ngomong aje bel. Nanti biar gue clurit orangnya.”
Ikatan ini kasat mata, immaterial dan susah di pahami.
Pernah suatu ketika teman-teman saya rela lari dari kuliah, menyambangi saya di rumah sakit setelah saya mengalam kecelakaan motor.
Atau mereka yang sekedar menanyakan keberadaan saya ketika saya tidak muncul di kelas selama 3 hari karena demam. Dan mereka pun datang, menghibur.
Apa yang menyebabkan mereka begitu? Ikatan akidah? Hm, aku tak tahu, karena akidah dalam hal-hal tertentu perlu dibuktikan.
Kamu mungkin pernah mengalami, bahwa banyak diantara yang mengaku memiliki keterikatan akidah --dalam setiap khutbah personalnya-- tidak pernah kamu rasakan membuktikan ikatan tersebut dalam realita. Terlalu banyak hitung-hitungan untung dan rugi, bahkan meski mereka belum berkeluarga.
Entahlah
yang pasti kami saling membutuhkan, saling mengisi. Saya mencintai mereka dengan detail. Dengan cinta yang teramat tulus. Cinta yang mereka balas dengan ketulusan yang sama.
Bersama mereka saya selalu memperbaiki diri dan semakin memperdalam hubungan. Ikatan kasat mata itu semakin kuat terjalin.
Aku membutuhkan mereka, dan mereka menyambutku. Aku akan selalu bersama mereka, walaupun tanpa membawa makanan, minuman, atau uang, kecuali niat ikhlas untuk terus menerus mengencangkan simpul. Menguatkan ikatan.
dibajak dari tulisannya kang Divan Semesta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
your coment here !!