Selasa, 13 April 2010

UU BHP, Tentang Kelemahannya


Sudah biasa kita dengar bahwa akhir-akhir ini pendidikan negeri kita disibukkan dengan pro-kontra UU BHP. Pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) pada tanggal 17 Desember 2008 silam oleh DPR-RI telah menuai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat. Unjuk rasa besar-besaran menolak hadirnya UU BHP oleh sebagian besar mahasiswa di berbagai daerah telah mewarnai pemberitaan media elektronik maupun media cetak di penghujung tahun 2008. Hal ini merupakan sebuah kewajaran ketika UU bHP tersebut tidak sejalan dengan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dimana pendidikan harus bisa merata kepada seluruh elemen masyarakat.

Disisi lain beberapa kalangan akademisi dan pengamat pendidikan tinggi justru menyambut baik pengesahan UU BHP ini.
Bila kita simak secara teliti, ternyata UU BHP memiliki cukup banyak kelemahan yang secara umum dapat dikelompokan kedalam 3 masalah utama, yaitu (1) masalah keberpihakan kepada masyarakat kecil, (2) masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan (3) masalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam undang-undang ini.

Keberpihakan pada masyarakat kecil untuk memperoleh jaminan pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau, nampaknya sama sekali tidak terlihat dalam pasal-pasal dari undang-undang ini.
Pasal-pasal yang ada lebih mengatur hal-hal yang terkait dengan privatisasi dan korporatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) seperti terungkap pada Pasal 43 ayat (1) tentang badan usaha dan Pasal 57 tentang kepailitan. Di sisi lain komersialisasi PTN secara implisit tercermin pada Pasal 38 ayat (1) yang menjelaskan tentang sisa hasil kegiatan/usaha. Pembatasan akses pendidikan tinggi bermutu bagi warga negara berpenghasilan rendah tercermin pada Pasal 46 ayat (1) yang memberi kuota 20 persen untuk mahasiswa golongan ini. Itupun tidak ada batasan jaminan keterjangkauan biaya pendidikan yang diatur secara jelas.
Meskipun pada kenyataannya, jauh-jauh hari sebelum UU BHP disahkan, hampir sebagian besar PT BHMN sudah lebih dulu memasang tarif tinggi untuk bidang studi yang banyak diminati. Dengan demikian, UU BHP telah memberikan legitimasi terhadap praktek-praktek pemungutan biaya kuliah yang tinggi tanpa batasan besarnya biaya tersebut khususnya pada beberapa PTN melalui pelaksanaan ujian mandiri.

Masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara eksplisit dalam UU BHP dapat difahami bahwa pembiayaan pemerintah masih tergolong rendah, meskipun anggaran pendidikan 20% dari APBN segera direalisasikan. Untuk itu UU BHP memberikan peluang bagi PTN untuk menutupi kekurangan biaya melalui komersialisasi kursi PTN sebagaimana diungkapkan pada Pasal 41 ayat (6) dan (9), dimana setengah dari biaya operasional ditanggung oleh BHP plus pemerintah, dan sepertiganya ditanggung oleh masyarakat.

Kondisi ini terjadi karena adanya kekosongan pengaturan tentang pendidikan tinggi dalam UUD 1945 (amandemen ke-4). Dampak yang diduga akan terjadi dari kurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan PTN ini adalah melambungnya biaya kuliah di PTN favorit. Terkait dengan masalah tanggungjawab pemerintah ini, UU BHP juga memberikan sinyal peluang masuknya pihak asing dalam bisnis pendidikan tinggi di Indonesia yang tentunya dapat mengancam integritas bangsa. Jejak liberalisasi pendidikan terekam sejak Indonesia meratifikasi perjanjian perdagangan bebas yang disponsori WTO pada tahun 1994. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, sektor jasa termasuk pendidikan tinggi dimasukan ke pasar global dan dijadikan komoditas jasa yang bisa diperjualbelikan.

Masalah terakhir adalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam UU BHP, yang mencerminkan bahwa undang-undang ini terkesan diselesaikan secara tergesa-gesa hanya untuk memenuhi target dengan mengabaikan kualitasnya. Arya Hadi Darmawan (2009) menyebut kekacauan ini sebagai inkonsistensi logika antar pasal. Ia memberi contoh inkonsistensi tersebut terdapat pada Pasal 4 yang menyatakan BHPP adalah organisasi nirlaba versus Pasal 57 dan Pasal 58 yang menyatakan bahwa BHPP dapat pailit. Selanjutnya pada Pasal 4 dinyatakan sisa hasil usaha (SHU) versus Pasal 38 ayat (1) dan (3) tentang sisa hasil kegiatan, yang secara jelas menunjukan inkonsistensi.

Dengan di cabutnya UU BHP semoga tidak ada kapitalisasi pendidikan di Indonesia .
Bahwa pendidikan adalah harga mati bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan bagaikan toko kelontong yang mencari keuntungan dengan kemungkinan kebangkrutan ketika tidak ada konsumen yang mau membeli produknya yang dikarenakan mahal harganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

your coment here !!